CITY OF LIFE
Kawasan teluk di Timur Tengah sdg menggeliat dgn segala macam berbau perfilman belakangan ini. Beberapa festival film dr yg “tertua,” Dubai International Film Festival (DIFF) yg sdh memasuki thn keempat dan berlangsung tiap Desember; saudara sekotanya yg lbh berfokus pd film pendek dan dokumenter regional, Gulf Film Festival, sdh tiga thn bergulir tiap April; tetangganya di Abu Dhabi juga tdk ketinggalan dgn Middle East International Film Festival yg dipimpin oleh mantan artistic director Tribeca Film Festival Peter Scarlet; dan yg termutakhir di thn 2009 lalu Doha Tribeca mulai mengorbit di Qatar, berafiliasi dgn Tribeca Film Festival New York yg didirikan bersama oleh aktor Robert De Niro.
Blm lagi perusahaan-perusahaan produksi film dr yg memfasilitasi produksi film-film asing di sini, spt utk film Syriana, Transformers, The Kingdom, sampai ke yg beraspirasi ingin menjadi Pixar-nya TimTeng. Tapi yg blm muncul adl film fitur buatan org Arab sendiri yg dibuat di kawasan ini yg bs menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan bs berdiri tegak disejajarkan dgn film-film internasional lainnya, utamanya Hollywood. Keadaan ini telah berubah tahun lalu saat film fitur pertama produksi UAE yg dibuat org Emirati lulusan London Film School bernama Ali F. Mostafa (keturunan dr ayah Emirati dan ibu org Inggris) berjudul City of Life melangsungkan world premiere-nya di DIFF. Tgl 22 April lalu berlanjut dgn dirilis di sejumlah bioskop UAE, menandakan langkah historis industri perfilman UAE yg baru lahir utk dpt dikonsumsi publik tdk saja oleh org pribumi, tapi juga mayoritas penduduk UAE yg merupakan pekerja asing berasal dr hampir 200 negara di seluruh dunia. Dan sbg pekerja asing kecil-kecilan (baca: TKI) berbasis di Dubai yg jg pemerhati film, sy sdh turut menunaikan dukungan sy dgn menontonnya di bioskop di mall terbaru di Dubai (yg salah satu atraksinya menawarkan bioskop dgn layar raksasa selebar 20 meter, ExtremeScreen).
Kesan setelah menonton City of Life adl kepercayaan diri sutradaranya, Ali Mostafa yg masih berusia di bawah 30 thn, dlm membuat film fitur pertamanya ini. Setiap adegan yg terpapar di layar – dgn dukungan desain produksi dan sinematografi professional spt layaknya film produksi Hollywood - dieksekusi dgn profesionalisme yg bs diharapkan dr pelaku perfilman berpengalaman dlm memfilmkan kota Dubai sbg bagian yg tdk terpisahkan dgn karakter-karakter yg menghidupinya. Tp di balik kepercayaan dirinya itu, dlm banyak komentarnya Mostafa jg mengakui keterbatasan dan kompromi yg hrs diambilnya utk dpt menggolkan terselesaikannya filmnya sampai dirilisnya ke bioskop. Meskipun penyensoran film di UAE semakin melonggar dibandingkan dgn negara-negara tetangga (apalagi di Arab Saudi yg masih melarang penayangan film di bioskosp), masih ada hal-hal tertentu yg terlalu kontroversial dan tdk dpt dibicarakan begitu saja secara terbuka di ruang publik, spt misalnya prostitusi dan eksploitasi pekerja labor. Spt ditanya dlm satu wawancara dgn media barat ttg yg terakhir ini, “No comment,” ujar Mostafa setelah terdiam, “Sorry… I’m not a diplomat. I’m not going to be saying the right things, so I’m not going to comment.” Mostafa jg menegaskan, “Especially with your first film, you can’t go as deep as you would like. Number one, it’s the first film and you want to make more. I scratched the surface a little bit. The surface of controversy. You don’t necessarily have to make a film more real than what I tried to portray here.”
Apakah relevan mengkritisi film yg tdk dimaksudkan utk dibuat spt apa yg dikritisikan? Untuk siapa sebenarnya film ini dibuat? City of Life adl film bertipe, meminjam istilah David Bordwell, network narratives, film dgn gaya bertutur cerita yg menjadi ciri khas sutradara Meksiko Alejandro Gonzalez Inarritu yg dikenal dgn film triloginya Amores Perros, 21 Grams dan Babel. Film yg pertama dr trilogi tsb berbahasa Spanyol, yg kedua berbahasa Inggris, dan yg ketiga menggunakan multi bahasa (Spanyol, Inggris, Arab dan Jepang), dibintangi para pemeran multi-etnis dan berlokasi di tiga benua, memperluas skala filmnya menjadi global. Struktur bercerita network narratives ini sdh diterapkan sejak lama, tapi lbh dipopulerkan oleh sutradara independen Amerika legendaris Robert Altman dr thn 70-an ke 90-an dgn film-filmnya spt MASH dan Short Cuts dan di dekade ’00 dgn Gosford Park dan film terakhirnya A Prairie Home Companion. Warisan Altman diteruskan oleh Paul Thomas Anderson yg di thn 90-an menghasilkan film Boogie Nights dan Magnolia. Film terbaru Anderson There Will Be Blood yg bukan bertipe network narratives, didedikasikan utk Altman yg menutup usia di thn 2006. Dr perfilman Eropa, ada sutradara Polandia Krzysztof Kieslowski, yg di thn 90-an membuat trilogi influential yg jg banyak menginspirasi triloginya Inarritu (dan penulis skenarionya Guillermo Arriaga), Three Colors Trilogy yg berdasarkan tiga warna bendera Prancis, Blue, White, dan Red. Dpt disebut jg film Jepang karya Akira Kurosawa yg diangkat dr literatur klasik, Rashomon, yg mungkin termasuk prototipe awal film berjenis network narratives.
Apa maksudnya film berbentuk network narratives yg banyak diterapkan di masa kini seiring dgn pengaruh globalisasi dan internet di segala bidang? Pd dasarnya adl film dgn protagonis lbh dr satu yg masing-masing memiliki jalan ceritanya sendiri dan krn satu insiden atau peristiwa kebetulan terjalin keterkaitan satu sama lain yg biasanya berlokasi di satu tempat tertentu, baik itu rumah, hotel, tempat kerja, kota atau pun satu dunia spt di Babel. Atau bisa jg terkait oleh aspek tematiknya, spt salah satu film network narratives karya Richard Linklater favoritku, Fast Food Nation, yg mengeksplorasi proses dan industri pembuatan makanan cepat saji, lengkap dgn segala macam faktor pendukungnya, menguak keseluruhan sistem sampai ke intinya.
Mostafa jg menerapkan konvensi network narratives ini di City of Life. Namun perbandingan City of Life dgn film-film ini msh terlalu jauh, tapi jg tdk lantas membuat filmnya menjadi jelek. Dr segi teknik sdh cukup layak, tp kompleksitas dan keartistikannya relatif msh kurang. Model yg plg tepat sbg acuan City of Life adl film Paul Haggis, Crash, yg untungnya tdk sehisteris peraih film terbaik Oscar itu. Bila Crash, spt Boogie Nights dan Magnolia, ber-setting di kota Los Angeles, menampilkan interaksi penduduknya dr berbagai etnis dan strata sosial, City of Life adl ekuivalennya utk kota metropolis Dubai, kota di timur tengah dimana “barat” bertemu “timur” dan tradisi berbenturan dgn modernisasi. Hanya saja interaksi di City of Life terbatas pd satu strata, yg jg menggambarkan msh adanya perbedaan dan pemisahan kelas-kelas tertentu, dan baru bersimpangan jalan di klimaksnya saja. Spt di Crash dan banyak film network narratives lainnya, yg mempertemukan tiga jalan ceritanya adl timbulnya insiden kecelakaan yg menjadi titik balik filmnya. Dr pengatamanku sendiri, intensitas kecelakaan lalu lintas di Dubai memang cukup tinggi, terkadang tiap pergi keluar utk rekreasi atau pun kerja, ada saja kecelakaan yg terjadi, tdk sedikit jg yg cukup parah.
Tiga cerita utama di City of Life berisikan ensembel multietnis dan menggunakan tiga bahasa: Arab, Inggris dan Hindi. Yg pertama dan terutama adl ttg seorang pemuda Emirati, Faisal, kaya dan berkedudukan yg memikul beban sbg generasi penerus ayahanya, tp lbh banyak mengisi hidupnya bersenang-senang memanfaatkan statusnya itu bersama teman baiknya Khalfan, berkeliling-keliling kota mengendarai mobil sport Ferrari, Bugatti, atau pun kendaraan 4WD besar. Kedua karakter ini diperankan oleh Saoud Al Kaabi sbg Faisal, figur presenter dan selebriti TV lokal yg cukup populer (tp krn tdk pernah menonton TV, sy tdk bs mengomentari kepopulerannya itu) dan Yassin Alsalman alias The Narcicyst, seorang penyanyi hip hop asal Irak, sbg Khalfan, anak muda Emirati dr golongan menengah ke bawah bertemperamen tinggi yg tinggal bersama nenek dan adik perempuannya. Segmen ini berupaya menampilkan potret generasi muda Emirati kontemporer, keistimewaannya sbg pribumi ditengah dominasi penduduk asing beserta segala tantangannya dlm bergelut antara identitas lokal dan pengaruh budaya luar.
Cerita yg kedua diisi karakter-karakter ekspatriat kelas menengah ke atas. Dua pramugari asal Eropa Timur, Olga (aktris Inggris Natalie Dormer) dan Natalia (si cantik Alexandra Maria Lara), yg berambisi menjalankan hidup baru yg lbh baik; Seorang pebisnis periklanan yg jg playboy kelas kakap asal Inggris Guy Berger (Jason Flemyng, aktor yg jg tampil di The Curious Case of Benjamin Button, Clash of the Titans - yg dirilis bersamaan di bioskop UAE - dan Kick Ass). Sebegitu licinnya si Guy ini sampai di filmnya dikomentari, “So smooth he can sell sand to the Arabs.” Dan cerita ketiga adl ttg kelas pekerja. Seorang sopir taksi asal Gujarat, India, bernama Basu (diperankan Sonu Sood), yg berwajah mirip dgn bintang film terkenal dan bermimpi ingin juga terjun ke dunia hiburan bermodalkan wajahnya itu. Karakter ini terinspirasi dr seseorang yg mirip Shah Rukh Khan di satu bar Bollywood di Dubai yg pernah dikunjungi Mostafa.
Kritikus film Inggris David Thomson pernah menulis buku ttg Hollywood khususnya dan kota Los Angeles pd umumnya yg judulnya, The Whole Equation, diambil dr novel F. Scott Fitzgerald yg tdk selesai, The Last Tycoon. Buku yg memandang sejarah Hollywood dan kota lokasinya dr kesubyektifan Thomson tsb membahas the whole equation, suatu formula yg membuat film-film Hollywood - ditunjang segala macam aspek yg terlibat di dalamnya - bs eksis dan berkembang mengikuti dinamika perubahan zaman dr masa-masa awal berdirinya sampai sekarang. The whole equation yg membuat kota Dubai menjadi Dubai spt sekarang jg dpt diformulasikan utk melacak pesatnya pertumbuhan dan perkembangannya, tp bila merujuk pd film City of Life, msh banyak mata rantai yg blm tersambung utk memberi gambaran yg komprehensif, apalagi inklusif. Ketiga cerita yg ditampilkan City of Life msh blm cukup merepresentasikan populasi kota Dubai yg majemuk, dan bagaimana peran kemajemukan itu dlm membentuk Dubai masa kini sedemikian adanya.
Berada dimana kaum perempuan Emirati? Ketidakhadirannya cukup terasa sepanjang film. Selain adik dan nenek Khalfan, praktis karakter perempuan Arab pribumi absen di filmnya. Apa mereka bersembunyi di belakang tembok rumah mereka masing-masing? Realita Dubai tdk sekonservatif itu. Justru mereka aktif bertebaran di kawasan-kawasan tertentu sepelosok Dubai (spt misalnya dpt mudah dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan), lengkap dgn pakaian tradisional abaya yg menyelimuti tubuh mereka, memancarkan keeleganan yg lbh “eksotis” drpd perempuan-perempuan pendatang berbusana ketat atau pun minim. Kemana jg orang-orang Filipina, baik itu laki-laki maupun perempuan? Raut muka mereka yg mirip dgn org Indonesia ini – sampai org Indonesia sering dianggap sbg org Filipina – termasuk imigran mayoritas di Dubai yg bila ada org terdampar tanpa peta dan kompas bs menyalahartikan kota Dubai sbg bagian dr negara Filipina. Dgn hanya menampilkan seorang kakek tua bersepeda pengumpul karton bekas di awal dan akhir filmnya belumlah cukup. Begitu jg dgn org-org India, yg dominasinya lbh kuat di sektor ekonomi melebihi sektor hiburan, terutama yg berasal dr daerah Kerala (etnis Malwari). Bagaimana pula dgn org Indonesia? Hanya tampil 1 detik saja di layar saat Faisal kembali ke rumah dan berkonfrontasi dgn ayahnya, seorang pembantu rumah tangga (yg kemungkinan besar org Indonesia, tdk terlalu jelas) menyingkir ke ruangan lain.
Spt yg secara tdk langsung diakui Mostafa, isu eksploitasi pekerja labor adl hal yg sensitif. Penggunaan karakter sopir taksi yg bertempat tinggal di daerah Karama, satu kawasan komersial dan residensial menengah di Dubai, adl jln pintas yg aman utk sekedar menyerempet persoalan akut ini. Bila Mostafa lbh berani, bs saja ia menampilkan karakter pekerja kosntruksi - yg menjadi tulang punggung pesatnya pembangunan kota Dubai - dgn gaji minimum dan tinggal berdesak-desakan di akomodasi khusus pekerja labor di daerah Al Qusais yg lokasinya berdekatan dgn tempat pembuangan sampah se-Dubai. Dr sisi spektrum yg lain, terlewatkan jg penggalian lbh dalam thd budaya konsumerisme yg melekat dan sdh menjadi bagian dr gaya hidup di Dubai. Spend here what you earn in Dubai. If you got it, flaunt it.
City of Life memang bukanlah film dokumenter. Mostafa berhak merias fiksinya dgn apa pun yg menurutnya bs menghibur tanpa menutup mata sepenuhnya thd kenyataan. Keputusan Mostafa utk mengikuti formula Hollywood (dan fragmen Bollywood) adl utk dpt menjangkau audiens global seluas mungkin yg sdh terbiasa mengonsumsi produk film Hollywood dan Bollywood, memberi sentuhan yg sdh cukup familiar dlm mengangkat isu dan budaya lokal yg mungkin terlalu alien atau msh primitif utk kebanyakan org. Mau bagaimana pun reaksi atau evaluasiku thd filmnya, sy cukup terhibur menonton City of Life. Timbul jg keinginan utk menontonnya lg. Mungkin bila sdh dirilis di DVD, setidaknya bs dijadikan salah satu suvenir kenang-kenangan dr Dubai. Meskipun tdk merumuskan “the whole equation” Dubai secara utuh (tdk ada rumus E=MC2 di sini), setidaknya persoalan-persoalan konkrit ditelusuri, disertai sisi positif dan negatifnya, mengindikasikan not all that glitters is Dubai…
You feel restricted in Dubai by regular things that are normal in any other part of the world. I can’t go out and tell the grittiest or the dirtiest or the most gruesome story, especially with the first film.
"My film is not a documentary, nor is it propaganda. It's stories that I came up with, some from personal experience, but mostly fiction. That's what films are about. It's about escapism, it is a journey for the audience."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar