LA NIÑA SANTA
(THE HOLY GIRL, Argentina)
Juga di negara-negara Amerika Latin dengan dominannya Catholicism sebagai bagian dari pandangan hidup masyarakatnya, seperti di Argentina, tergambarkan cukup baik dalam film The Holy Girl karya Lucrecia Martel, yang dengan film ini menunjukkan kapasitasnya sebagai sutradara perempuan kontemporer yang filmnya paling menarik untuk disimak setelah Jane Campion.
Dalam masyarakat represif yang berpegang teguh pada norma-norma ketat, tersimpan hasrat para penghuninya yang tersembunyi dari permukaan, dan terkadang sampai tertahan menunggu momen yang tepat untuk terkuak keluar, atau tetap terkubur. Perang yang akan selalu berkecamuk dalam diri setiap manusia adalah konflik antara jiwa dan raga, antara keyakinan yang menjadi benteng diri dan hawa nafsu yang mengerubunginya setiap saat.
Di penyelenggaraan sebuah konferensi kedokteran di suatu hotel yang dikelola Helena (Mercedes Moran), seorang partisipan bernama Dr. Jano yang usianya jauh lebih tua (Carlos Belloso) dibuntuti oleh seorang gadis remaja bernama Amalia (Maria Alché) yang adalah anak Helena, yang keduanya juga tinggal di hotel tersebut. Semuanya bermula dari kejadian pada saat Amalia bersama temannya Josefina mendengarkan peragaan musik yang menggunakan instrumen theremin yang bersuara aneh tapi indah di pinggiran jalan, dimana Dr. Jano mendekati kerumunan dan berdiam di belakang Amalia untuk ‘menyentuhnya’ secara diam-diam, yang mengagetkan Amalia.
Amalia, yang mengikuti kelas keagamaan dan sedang membahas tentang ‘tanda-tanda panggilan Tuhan’, merasa terpanggil untuk memuaskan keingintahuannya dalam merespon sexual encounter ini dengan berusaha balik mendekati Dr. Jano dan menarik perhatiannya karena ia menganggap ini sebagai ‘pertanda’ bagi dirinya untuk ‘menyelamatkan’ Dr. Jano.
Martel mengisi penuh area cerita hitam putih ini dengan warna abu-abu tanpa memberi jawaban yang mudah dengan komposisi visual yang disusunnya secara rapi sehingga terbentuk harmoni sinematografi, editing dan sound yang melapisi cerita filmnya tanpa terasa berlebihan tidak seperti yang terdapat di Sympathy for Lady Vengeance.
Yang membuat filmnya tidak setransparan kelihatannya, karena Martel menciptakan sugesti-sugesti atas motivasi dan konflik internal tak terucap dari karakter-karakternya. Tidak setiap frame filmnya dipenuhi oleh dialog antarkarakter, tapi tergantikan oleh banyaknya hal yang terjadi secara visual baik di foreground atau background filmnya dan menimbulkan efek surreal pada adegan tertentu.
Munculnya instrumen musik theremin (yang namanya baru saya ketahui setelah mencari tahu) sepanjang film secara konstan, dapat saja dimaksudkan sebagai metafora. Jika diperhatikan, theremin dimainkan tanpa menyentuh alatnya sama sekali, tapi dengan memainkan (atau mungkin lebih tepatnya memanipulasi) aliran udara di instrumennya itu untuk mengeluarkan bunyi. Mungkin kondisi inilah yang dialami oleh Amalia, atau mungkin juga Dr. Jano, bila dilihat dalam konteksnya yang lain.
Dalam observasi lainnya, lokasi kolam renang di hotel berulang kali digunakan untuk tempat aktivitas berenang, berendam dan hal lainnya oleh para karakternya, Helena, Dr. Jano dan Amalia, bisa juga diartikan sebagai simbol untuk tempat ‘pembersihan diri’. Dalam film Man on Fire karya Tony Scott, Creasy (Denzel Washington) beberapa kali bermimpi berendam dalam suatu kolam renang dengan badan yang kotor dan berlumuran darah, yang cukup jelas adalah kiasan sebagai pertanda ‘penebusan dosa’ atas dirinya. Di film The Holy Girl mungkin juga kolam renang ini berfungsi sama, sampai ending-nya juga berlangsung di kolam renang.
The Holy Girl bukanlah film tentang pengkhotbahan didaktis antara mana yang benar dan mana yang salah. Karakter-karakter di film ini melakukan kesalahan-kesalahan sehingga penontonnya bisa memahami untuk tidak turut melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar