NOBODY KNOWS
(Dare mo Shiranai)
To never been born, maybe the greatest born of all
Sophocles (c. 496-406 B.C.)
dari Sophocles diatas tampaknya ekstrim, namun anda bisa akan sangat setuju dengannya setelah menonton film ini. Seperti halnya kisah yang diangkat oleh Sutradara Iran Bhaman Ghobadi dalam film TURTLES CAN FLY, bahwa mungkin 'anak-anak yang malang' itu lebih baik tidak pernah lahir daripada hidup diterlantarkan.
Nobody Knows (Dare mo Shirana) adalah film yang diproduksi tahun 2003 yang disutradari oleh Kore-eda Hirokazu. Film ini terinspirasi oleh kisah nyata yang dikenal sebagai "Affair of the Four Abandoned Children of Nishi-Sugamo". Film bagus ini menjadi perbincangan dan dijagokan dalam CANNES 2004, namun karena ’agenda tertentu’ film ini harus tersisih dengan Fahrenheit 9/11 untuk mendapatkan penghargaan Palme d'Or.
Film ini menceritakan tentang 4 orang kakak beradik (Akira, Kyoko, Shigeru & Yuki) yang hidup bersama ibunya. 4 anak kakak beradik hidup rukun bersama, walaupun masing-masing mempunyai ayah yang berbeda-beda. Mereka tidak pernah pergi ke sekolah dan tidak mempunyai akte kelahiran, sehingga keberadaan mereka bagaikan 'never exist'. Bersama ibunya, 4 anak ini hidup berpindah pindah.
Kepada pemilik Apartemen, Keiko (sang Ibu) mengaku suaminya ada di luar negeri dan hanya punya satu anak, yaitu Akira (anak tertua yang berusia 12 tahun) yang diperankan dengan baik oleh Yûya Yagira, sehingga di Cannes 2004 ia meraih predikat 'Best Actor'.
Sedangkan anak-anaknya yang lain diselundupkan ke apartemen secara diam-diam, dua diantaranya disembunyikan dalam kopor baju. Hal ini dilakukannya supaya pemilik apartemen tidak menolaknya karena apartemen yang sangat kecil itu seharusnya tidak untuk keluarga dengan total penghuni 5 orang.
Dengan keadaan yang serba minim, namun 4 anak-anak itu hidup saling tolong menolong secara rahasia di apartemen tersebut, setia menunggu kepulangan ibunya pulang dari kerja. Namun sang Ibu seringkali lupa pulang, semalam tak pulang, kemudian 3 malam tak pulang, sampai 1 bulan tidak pulang tanpa alasan yang jelas. Akira anak lelaki yang masih berumur 12 tahun harus bertanggung jawab mengurus adik-adiknya mulai belanja, memasak dan mengurus keperluan rumah-tangga lainnya.
Satu bulan yang panjang, meskipun susah diterima oleh anak-anak itu, toh mereka bisa survive dengan tanggung jawab si Kakak ini, ia berhemat dan ketika uang mulai habis meminta uang dari ayah-ayah mereka, namun itupun tidak dengan mudah diperoleh.
Setelah absen 1 bulah, akhirnya si ibu pulang juga; Akira mengungkapkan kemarahan dan kecewanya terhadap apa yang dilakukan Ibunya dan menyatakan keinginannya untuk sekolah bersama adik-adiknya. Namun si ibu menjawab “Aku juga berhak untuk bahagia kan? Ayahmulah yang tidak bertanggung-jawab”. Si ibu ini mengajukan pembelaan terhadap dirinya, bahwa memang para lelaki yang menjadi bapak ke-4 anaknya itu semuanya tidak bertanggung-jawab. Namun bukanlah posisi Akira untuk bisa menimbang perbandingan yang dilontarkan oleh ibu yang bisanya bercinta dan beranak saja tanpa tanggung-jawab.
Tak lama bersama dengan anak-anaknya di apartemen itu, si Ibu pergi lagi tanpa jejak untuk hidup bersama kekasih barunya, ia hanya meninggalkan sedikit uang untuk anak-anaknya . Sejak saat itu, dimulailah perjuangan Akira dan adik-adiknya untuk bertahan hidup. Anak-anak ini tetap pada persembunyiannya di apartement mungil itu sesuai instruksi ibunya, supaya keberadaan mereka tidak ada yang mengetahui. Hanya Akira yang keluar-masuk apartemen untuk belanja. Sementara itu Akira sempat menjalin persahabatan dengan anak-anak di lingkungan sekitar, termasuk Saki, seorang gadis, murid SMP kesepian yang sangat care terhadap Akira dan adik-adiknya. Waktu terus berjalan berbulan-bulan tanpa ada kabar dari Ibunya, lama kelamaan keadaan makin memburuk, tidak ada lagi uang atau makanan yang tersisa, aliran air dan listrikpun diputus, mereka hidup mengandalkan keran air di taman dan makanan pemberian pegawai supermarket yang kasihan terhadap mereka. Melihat keadaan kakak-beradik yang terlantar ini timbul rasa kasihan dalam diri Saki. Ia dengan inisyatifnya sendiri mencoba 'make money' dengan menemani menyanyi dengan seorang lelaki di sebuah karaoke, ia mendapat uang Yen 5,000.-- dan diberikannya kepada Akira untuk bisa dibelikan makanan. Akira menolak uang itu, ia menganggap uang itu didapat dengan cara yang tidak halal. Akira lebih memilih lapar daripada menerima uang itu, tapi di pihak Saki, hanya dengan cara itulah ia bisa mendapatkan uang.
Keadaan terus bertambah buruk karena sang adik terkecil Yuki sakit, gadis kecil 3 tahun itu tak mampu lagi bertahan dan dia mati. Adegan ini sangat mengharukan meski tanpa adegan isak-tangis para pemainnya. Menghadapi keadaan itu Akira tak sempat menangis ataupun meratapi kematian adiknya, karena dia diperhadapkan pada tanggung-jawab besar yang harus segera dilakukannya, yaitu bagaimana cara mengubur adiknya yang 'never exist' ini. Ia dan Saki sahabatnya kemudian menaruh jasad Yuki kedalam kopor dan dibawa secara diam-diam naik kereta menuju pelataran run-way bandara udara untuk mengubur Yuki disana.
Film sepanjang 141 menit ini cukup menyayat hati menggambarkan sengsaranya hidup anak-anak terlantar di kota besar didalam suatu negara modern dan kaya. The paradox of life as we know it......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar