Selasa, 01 November 2011

X-Men: The Last Stand

X-Men: The Last Stand

Adegan pembuka di film terakhir trilogy X-Men, langsung menunjukkan orientasi sutradaranya yang baru yang menggantikan Bryan Singer, si bad boy Brett Rattner, dalam memfilmkan materi ceritanya. Tanpa menunggu lama-lama, Rattner langsung ingin menimbulkan kesan dan memberi pseudo-kejutan, menampilkan Charles Xavier turun dari mobil Mercedes dengan dua kakinya, sebelum sesaat kemudian muncul title card memberitahu bahwa ini adegan flashback 20 tahun lalu. Setelah credits sequence, nampak lagi title card, kali ini menyebut ‘some time in the near future’, dan muncullah satu adegan dengan latar belakang yang hancur lebur dengan para karakter-karakternya yang tampak sedang bertempur melawan sesuatu yang awalnya tidak jelas, ternyata mereka sedang melawan robot sentinel. Tapi sebelum saya bisa mencerna maksud adegan yang langsung full-action ini, lagi-lagi Rattner mempermainkan penonton, adegan yang disorienting ini hanyalah sebuah simulasi untuk melatih para X-Men muda dalam menghadapai situasi chaos. Bandingkan dengan intro karakter Nightcrawler di adegan pembuka X2.


Dari dua adegan awal ini saja, apa yang saya takutkan akan terjadi pada film yang sekuel sebelumnya buat saya salah satu film comic book terbaik yang pernah dibuat Hollywood, akhirnya terjadi juga. X-Men: The Last Stand adalah film X-Men terburuk diantara trilogi filmnya. Bahkan The Last Stand adalah Batman Forever dibandingkan dengan X2: X-Men United yang merupakan Batman Returns-nya. Tentu skala filmnya lebih besar daripada 2 film sebelumnya, dengan adegan-adegan aksi yang bigger dan louder dan dengan hadirnya mutan-mutan baru atau pun yang muncul kembali memamerkan kemampuan mereka masing-masing, tapi broader tidak lantas membuat filmnya jadi better, justru mengorbankan pengembangan karakter yang begitu menarik di film sebelumnya dan yang sangat terasa berbeda, hilangnya kedalaman dan kompleksitas subtext filmnya, tergantikan oleh spectacle dan dialog yang kebanyakan dangkal. Tidak ada kalimat seperti, "You're a god among insects. Don't let anyone tell you otherwise."

Segala kehampaan ini juga seperti mengimbas ke akting para aktornya, yang hampir semuanya terasa datar dan tidak memberi nuansa kepribadian yang menarik, mau itu Wolverine, Magneto, Jean Grey dan lainnya. Yang sedikit menonjol hanya Beast saja, yang adalah karakter paling berdimensi diantara banyaknya karakter lainnya.

Pangkal persoalannya adalah, Brett Rattner kurang memahami subtext. Rattner ingin membuat film yang dianggap serius, tapi tanpa kontrol nada dan irama filmnya yang konsisten malah membuat filmnya menjadi less exciting dan less fun, ditunjang sedikitnya substansi dibalik cerita yang tampak di permukaannya, meruntuhkan apa yang sudah Bryan Singer bangun selama ini. Keberhasilan Singer di dua film sebelumnya (terutama X2) adalah dia menyadari bahwa ini adalah tentang kumpulan manusia super dengan kekuatan-kekuatannya yang unik tapi substansinya bukan tentang hal-hal tersebut, melainkan tentang bagaimana rasanya dibedakan karena karakteristik tertentu dari keunikan tersebut.

Bagaimana mungkin film X-Men mengenai saga Dark Phoenix begitu hambar dan tidak berisi begini? Begitu banyak nyawa melayang, kekuatan hilang, tapi tidak banyak menghasilkan implikasi berarti selain para mutan juga manusia yang bisa mati, dan mau seberapa tangguhnya seseorang, masih ada lagi yang jauh lebih tangguh?

Yang sampai juga pada keberatan lain saya pada film ini. Begitu banyak karakter-karakter yang mati, saya tidak bisa memercayainya. Kenapa? Apa yang dicapai dari trik drama yang paling mudah ini dari segi penyelesaian cerita atau pemenuhan temanya selain keputusasaan dalam menggugah emosi penonton? Akan jauh lebih baik dan menarik bila karakter-karakter ini tetap hidup dan menghadapi konflik tanpa harus terbunuh sebegitu mudahnya. Dan ending filmnya, mensinyalkan perbedaan resolusi antara Singer dengan Rattner. Rattner mendukung status quo dan kita, sebagai masyarakat, cukup menjadi bidaknya saja.

Bila ada satu poin yang bisa diambil dari film ini, yang membuatnya menjadi tidak sepenuhnya worthless dan masih layak tonton walau untuk sekedar menyaksikan adegan-adegan aksi oleh para karakternya, benang merahnya adalah dunia ini sekarang semakin terpecah belah dan divergen. Dalam satu komunitas yang sama sekalipun, yang tersatukan atas kesamaan tertentu (dalam hal ini mutan di filmnya), polarisasi dapat terjadi dan bisa sampai meruncing menimbulkan pertikaian satu sama lain karena dua perbedaan pandangan dalam mneghadapi satu problem. Yaitu antara kubu konservatif yang mengandalkan fisik dan histeria massa sebagai senjatanya (Brotherhood yang dipimpin Megneto) dengan kubu moderat yang lebih memilih jalur diplomasi dan dialog (X-Men yang dipimpin Charles Xavier) dan juga ditambah satu atau lebih elemen lain yang tak terduga (force of nature) yang terwakili oleh Jean Grey (Dark Phoenix) yang tidak mudah dikategorikan karena kedualitasannya. Hal ini cukup ironis bila kita melihat apa yang terjadi di Indonesia atau Palestina sekarang, bagaimana umat Islam menjadi seperti para mutan di X-Men: The Last Stand. Which side are you on? If you’re different than us, then you’re not one of us.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar